Friday, September 15, 2017

Merantau ke Rumah

Nyokap pernah bilang. Hidup anak bersama orangtua itu sebentar, apalagi anak gadis yang akan hidup bersama pemimpinnya. Bahkan ada yang bilang bahwa orangtua hanya dapat memiliki anaknya sampai 14 tahun. Tahun selanjutnya, sang anak sudah akan memilih jalannya sendiri. Umur gue 22 tahun, dan nyokap udah sering banget mention nama anak-anaknya one by one akan 'pindah' rumah dari orangtua. "Bentar lagi kamu nikah deh, 1-2 tahun lagi." Kalaupun memang gue akan nikah dalam jangka waktu itu, 2 tahun masih lama menurut gue. Tapi tidak menurut nyokap. Dengan jatah hidup sebentar bersama anaknya, lalu ada diskon pula dengan 4 tahun gue kuliah di Bandung. Dan dalam ke-sebentar-an ini semua, I still don't make it count to be worthy.

Di suatu siang, nyokap akhirnya menegur gue secara tersirat dengan keras. Gue ini orangnya ketus. Dan akibatnya, gue sebenarnya sudah (mungkin seringkali) menyakiti hati orang lain. Mulai dari teman hingga orang yang lebih tua. Lebih dari apa yang udah gue sadari. Salah satunya adalah orangtua gue. Gue yang sering ngeluh kalau orangtua gue lupa sesuatu, gue yang sering marah-marah kalau orangtua gue gak ngerti apa yang gue kasitau.

Ada satu kalimat nyokap yang membuat gue berpikir banget buat intropeksi, menyadari bahwa gue sangat gatau diri. Hidup gue tuh udah 'numpang' sama orangtua, urusan apa-apa udah dibantuin. Tapi sedikit pertanyaan dari mereka, gue suka males menjawabnya serta dengan ketus pula. Padahal bicara lembut saja sudah bisa menenangkannya. Gue cuma anak, gak akan bisa balas sepadan, dan mereka pun sebenernya gak banyak minta. Padahal nyokap udah selalu jadi reminder gue yang seringkali lebih tau diri gue, dan bokap udah selalu ada waktu buat cari segala cara kasih yang terbaik buat keluarga. Then, I realized that I changed so much. Especially to them. Semakin tumbuh, gue semakin merasa dewasa yang merasa bisa hidup sendiri dan menentukan apa-apa sendiri. Berpikir bahwa gue sudah cukup bisa melakukan apa-apa sendiri.

Merantau ke Bandung mungkin bisa mengajarkan gue lebih dewasa, namun bisa jadi membuat gue sombong kepada orangtua, merasa bahwa gue sudah serba bisa. Padahal gue masih menjadi anak dari kedua orangtua. Mungkin hanya berlaku lemah lembut yang mereka minta. Karena orangtua selalu merasa ini semua sangat sebentar, anak mereka pergi dengan cepat tanpa sadar. Seperti nyokap dan bokap gue yang selalu merasa bentar lagi gue kerja, nikah, punya keluarga, pindah, dan kebayang-bayang sepinya rumah. Sedangkan anak ingin cepat dewasa, cepat-cepat mengejar cita-cita. Seperti gue yang 4 tahun seringkali terlalu nyaman menikmati Bandung. Padahal seharusnya gue sadar untuk menengok ke belakang, ada orangtua yang menunggu gue pulang.

Jika ada yang bilang, "Merantaulah agar tahu siapa yang dirindu." Maka, pulanglah agar ingat siapa yang merindu.

Depok